Thursday, January 16, 2014

Bab 2

Ergi
Monday morning. New week, new task, new deadline. Gue nggak pernah nemuin alasan buat suka sama hari Senin, apalagi di kuliah semester 3 ini. Nggak ada yang menarik sama sekali. Untung hari ini nggak ada kelas karena dosen Material Teknik gue lagi pergi keluar kota. Gue mengecek hp gue, memastikan nggak ketinggalan info apapun. Ternyata ada pesan dari Rio.
Rio: Gi jangan lupa surat undangan ke jurusan
Crap. Satu-satunya alasan gue nerima ajakan Rio buat jadi kadiv acara adalah karena gue nggak enak sama Rio. Dia yang bantuin gue waktu gue terpaksa jadi ketua makrab fakultas. Lagipula kan nggak ada salahnya buat nyoba hal baru. Gue udah bikin target di awal semester 3 bakal ikut minimal 5 kepanitiaan selama 1 tahun. Dan gue harap acara ini dapat berjalan sesuai rencana.
Lebih baik gue hubungin Inara sekarang, daripada dia lupa sama tugasnya. Bukannya gue nggak percaya sama dia sih, tapi gue cenderung control freak. Gue suka kesulitan mempercayakan tugas ke orang lain. Semua harus dalam pengawasan gue.
Ergi: Nar jangan lupa bagiin surat undangan ke jurusan ya. Perlu gue temenin nggak?
Alasan gue nawarin buat nemenin cuma satu, biar gue bisa memantau semua undangan sampai di jurusan masing-masing. Gue nggak mau ada masalah di divisi gue karena masalah di divisi lain. I don’t wanna be blamed for something that wasn’t my fault.
15 menit gue nunggu, tapi nggak ada balasan dari Inara. Gue ngelirik jam dinding di salah satu sudut kamar gue, jam 9.30. She’s might be in class. Or maybe she’s still sleeping. Lebih baik gue ke kampus sekarang, biar gue bisa ikutan bagi-bagi surat ke jurusan lain.


Gue duduk bareng beberapa anak jurusan gue di Bengkel Mesin, tongkrongan jurusan gue, Teknik Mesin. Gue ngecek hp gue, berharap Inara memberi balasan. Sekarang sudah jam 11 siang dan belum ada kabar dari Inara. Padahal undangan itu harus dibagiin hari ini. Untuk deadline undangan ini gue yang bikin sih, semakin cepat disebar semakin baik kan?
“Ngapain sih lo ngecek hp terus dari tadi?” tanya Edsel, sohib gue.
Gue hanya memandanginya dengan tatapan tajam.
“Santai bro, it’s been a while since the last time you have a girl around you. Kali aja sekarang ada yang baru,” jawab Edsel. Untung dia sohib gue dari TK, kalau nggak pasti udah gue maki-maki karena pengen tahu aja urusan orang.
“Nope. Urusan ulang tahun kampus,” ujarku singkat. Edsel mengangguk.
Ah ternyata udah ada balasan dari Inara.
Inara: Sorry gue baru kelar kelas. Ini mau bagiin kok.
Good. Gue mau ikutan.
Ergi: Lo dimana? Gue kosong kok, biar sekalian gue bisa jelasin spoiler kumpul-kumpul besok
Inara: Ok. Gue di ruang rapat kemaren.
“Gue cabut dulu ya.” Gue beranjak dari tempat duduk gue sambil mematikan rokok di tangan.


Inara sedang menulis nama-nama jurusan di surat undangan saat gue datang. Ia mengenakan kemeja bermotif bunga-bunga dan rok selutut yang mengembang ke bawah, sama sepatu. Gue nggak terlalu mengerti masalah fashion, apalagi fashion cewek, but it suits her perfectly. Alah, gue ngomong apa sih.
Gue menghampirinya. “Yuk Nar,” ujarku singkat. Gue bantu Inara ngebawain surat-surat itu.
Kami berkeliling kampus selama 1 jam. Gue nggak terlalu banyak bicara, walaupun Inara beberapa kali mencoba membuka pembicaraan. Sejujurnya gue nggak enak sih ama Inara, gue yang nawarin buat bantuin dia tapi gue malah diem kaya patung. It’s just I’m not a chit chat person.
“Udah semua nih, Gi. Makasih banyak ya udah dibantuin. Lo sebenernya nggak harus ngawasin gue segitunya kok. Kalo masalah bagiin surat doang mah gue masih bisa sendiri,” ujar Inara datar. Crap. Emang kelihatan banget ya kalo gue nemenin dia cuma karena mau ngawasin surat-surat itu dibagiin.
Gue memalingkan mata gue dari sepatu vans gue ke Inara. “Eh nggak kok Nar. Gue emang pengen aja keliling-keliling kampus.” That’s the only reason I could’ve think this time. Sumpah gue makin nggak enak sama Inara. Gue memperhatikan wajah Inara. Merah banget, pasti kepanasan. Gue melirik jam tangan swatch gue, udah jam 12 lebih. Pantes aja panas banget.
“I heard it, Gi.” Bola mata Inara berputar. Entah kenapa rasanya kaya ngeliat Vio, adik gue yang masih SMP lagi ngambek. “Lo pengen semuanya dibawah kontrol lo. I’m okay at first, tapi ngeliat gelagat lo kaya patung berjalan, sumpah gue males. Lo tahu kan sekarang panas banget? Dan ditemenin sama lo sama sekali nggak ngebantu. Lain kali tolong percaya gue kalo lo emang mau minta tolong sama gue.”
Gue tertegun, nggak enak setengah mati. Malu karena ketahuan dan ternyata orangnya tersinggung. Gue emang nggak terlalu berpengalaman sama cewek. Tapi kalo Vio yang ngambek, gue bakal ngajakin buat… “Kita makan es krim dulu deh.”
Dan seketika, binar mata yang dari tadi sudah mulai menebar kebencian itu berubah menjadi penuh kegembiraan. Kepalanya langsung mengangguk cepat. Gue terpana.


Gue dan Inara berada di sebuah kedai es krim dekat kampus kami. Gue baru lihat cewek yang langsung semangat begitu diajak makan es krim. Vio aja biasanya jual mahal dulu.  Bagus sih tapinya, jadi nggak perlu repot-repot.
“Sorry banget ya Nar. Bukannya gue nggak percaya sama lo, it’s just one of my bad habits. But I’ve noted about your talk. Lain kali gue bakal back off kalo ada tugas-tugas kaya gini lagi,” ujar gue sambil memandangi celana jeans dan kaos gue, memastikan tidak ada es krim yang jatuh ke baju gue.
Inara, yang dari tadi sibuk sama es krimnya, hanya menoleh sebentar lalu berkata, “Gapapa.”
Ergh, kenapa sih cewek kalo ngambek ngomongnya ngirit banget. “Nar, gue serius. Is there anything I could do? Gue nggak enak banget sama lo nih.”
Inara terkekeh. Cewek ini moodnya cepat banget berubahnya. “Yah santai ajalah Gi. Yang penting lo kan udah tahu kalo gue cukup bisa diandalkan untuk urusan bagi-bagi surat. Lagian next time ada bawahan gue kok yang bakal bantuin gue buat ngerjain tugas-tugas dari Rio.”
Gue nggak bisa melepas mata gue dari Inara. Badannya mungil, wajahnya menggemaskan. Kalo ada yang bilang Inara masih SMP, gue bakal percaya. Kelakuannya pun ternyata masih mirip anak-anak, buktinya aja dia semangat banget waktu gue ajak makan es krim.
Akhirnya siang ini gue habiskan dengan ngobrol sama Inara, cerita tentang kuliah masing-masing, tentang zaman sekolah dulu. Ternyata ada beberapa teman SMA gue yang dulunya satu SD dan SMP ama Inara.
Dan setelah gue perhatikan, Inara lumayan juga kok. She’s charming, in her own way. Matanya bagus, ekspresif. God. Gue barusan ngomong apa sih? Yah gue cuma memuji kok. Wajar kan? Lagian gue nggak tahu dia ada yang punya atau nggak. Someone’s girlfriend will always be off-limit. Gue nggak mau jadi cowok-cowok desperate yang sampai ngedeketin cewek orang. Masih banyak kok yang mau sama gue.
“…Tapi tuh ya, menurut gue hal paling nggak masuk akal adalah meet cute,” ujar Inara. Duh gue jadi nggak fokus gara-gara matanya. Atau karena terlalu fokus sama matanya?
“Meet cute?”
“Itu loh, pas hero sama heroine di suatu cerita ketemu pertama kali. Yang ketumpahan kopilah, nabrak terus bukunya jatoh semua. Yang paling klise sih kalo pas mereka pertama kali kenalan berantem gitu, terus sejak pertama ketemu jadi sering ketemu di kejadian-kejadian tak terduga, lama-lama jadi suka. Ketebak banget,” ujar Inara bersemangat, matanya berbinar.
“Lo ngomong kaya gitu karena pengen banget ngerasain kaya gitu atau gimana nih?” tanyaku. Ada kan orang yang ngerasa hal seperti itu klise karena secretly dia pengen digituin.
Mata Inara langsung sewot. Duh nih cewek ketebak banget sih. “Enak aja! Gue mah males banget. Jelek banget coba masa lo ngasih tahu anak cucu lo ‘dulu mama ketemu papa berantem dulu tuh, kalo nggak berantem nggak afdhol’. Gak keren amat.”
Gue nggak bisa menahan senyum gue. Lalu Inara melanjutkan, “Dan gue ngerasa novel-novel terlalu lebay kalo nyeritain hal-hal romantis yang dilakuin sama cowoknya. Ngasih balonlah, dibikinin lagu, dikasih bunga. Klise. Nggak segitunya kali.”
“Dan lo bisa ngomong kayak gitu karena…” gue sengaja menggantungkan kalimat gue.
“Karena gue udah pernah ngerasain dan ternyata biasa aja!” jawabnya spontan. Aku tergelak. Inara tersenyum lucu. Sumpah dia kayak kecil banget.
“Bocah,” aku menggumam pelan.
“Hah?”
“Bocah Nar, lo kayak bocah.” Mata Inara langsung berputar seperti tadi. Dia harusnya jadi anak SMP aja.
“Banyak yang bilang…” sorot matanya… pasrah? Namun setelah itu sorot matanya berubah lagi. “Tapi gue nggak bocah sumpah, gue udah gede tau. Kuliah aja ngekos.”
Kuliah ngekos? Apa hubungannya sama bocah apa nggak. “Pokoknya bocah.”
“Terserah. Bawel.” Aku tertawa, Inara tersenyum.


Gue sama Inara cabut dari kedai es krim itu jam 2, itu pun karena Inara ada kelas jam 3 nanti. Saat kami lewat koperasi kampus, Inara berkata, “Gi, gue mau ke koperasi dulu. Lo duluan aja.” Suaranya lucu.
Entah karena rasa nggak enak atau karena alasan lain, respon gue adalah, “Gue temenin deh.” Sumpah gue pun kaget sama jawaban gue. Inara bingung, gue segera menyesali respon gue.
“Ok,” ujar Inara, lalu Ia masuk ke koperasi. Gue ngikutin ke dalam, sepi. Inara masuk ke salah satu lorong, mengambil jajanan, lalu pergi ke kasir. “Itu apa Nar?”
“Makaroni. Enak loh,” ujar Inara. Ia membuka makaroninya, “Mau?” Dan akhirnya kami makan makaroni di depan koperasi.
“Ah lo kok makannya tumpah-tumpah sih. Kan jadi mubadzir,” ujar Inara.
Gengsi, gue geser makaroni yang jatuh itu ke sisi Inara. “Enak aja, lo tuh yang makannya berantakan. Lihat aja makaroninya jatuh di sekitar lo.”
“Eh itu kan lo yang geseeeer,” ujar Inara. Suaranya… cempreng? Nggak juga sih, tapi kerasa banget dia masih anak-anak. Tapi gue suka kok dengernya. Gila, gue mikir apa sih dari tadi. Something’s gone wrong.
“Yaudah sini gue beresin. Gue sih bertanggung jawab,” ujarku sambil membereskan makaroni yang jatuh berceceran. Inara tersenyum puas.


Gue berpisah sama Inara di gedung kuliah Inara. Saat gue mengecek hp, ternyata ada pesan dari Edsel.
Edsel: Gue ama anak-anak di kosan Gery nih. Nyusul aja.
Gue mengambil motor gue, memacunya ke daerah Tubagus Ismail, kosan Gery. Sesampainya disana, nama pertama yang gue dengar adalah…
“…Iya gue rencananya mau ke Bromo sama temen-temen SD gue,” ujar Gery. Lalu suara lain menyahut, gue nggak terlalu memperhatikan pertanyaannya, namun jawabannya… “Iya, sama mereka, sama Inara juga.”
Gue masuk ke kamar Gery. Kamar itu berukuran 3 x 4 m dengan kamar mandi di dalam. “Eh Inara tuh panitia ulang tahun kampus kan, Gi?” tanya Edsel saat melihat gue.
“Iya,” jawab gue pendek. Padahal banyak banget yang mau gue tanyain tentang Inara. Kenapa sih tiba-tiba Inara jadi ada dimanapun? She’s nobody ‘till this afternoon.
Yang lain masih berbicara tentang hal-hal nggak penting lainnya, masalah cewek, celana jeans, game terbaru. Tapi gue nggak terlalu memperhatikan. Someone’s bugging my mind. Inara Ratmoningrat.
Gue paling males kalo udah kepikiran sama cewek. I’ve promised myself mau fokus dulu sama kuliah. Kuliah gue sibuk banget, hari-hari kosong kayak hari ini jarang banget gue dapetin. Gue kasihan sama cewek gue nantinya, karena prioritas gue pasti kuliah.
But you can’t choose when you’re fall for someone, kan? Let’s just hope this feeling is just a fling. Karena masih banyak hal yang harus gue urus selain masalah romance.

No comments:

Post a Comment