Monday, January 20, 2014

Bab 3

Inara
It’s been a week since the last time I met Ergi. Emang udah nggak ada yang harus diurus bareng. Dan aku bersyukur karena sejujurnya ngerepotin banget kerja bareng orang kaya gitu. Jujur aja aku kesel banget waktu ingat kata-kata Natya waktu itu.
“Ergi mau nemenin lo bagiin surat? Yah itu mah berarti dia belom percaya sama lo, Nar. He’s a control freak. Iya, Ra. Control freak, bukan karena dia ada apa-apa sama Inara,” ujar Natya sambil melirik ke Kiara saat aku mengatakan akan membagikan surat bersama Ergi. Kiara yang sudah akan membuat isu baru langsung mengatupkan bibirnya.
Dan ternyata memang nyebelin banget! Masa pas nemenin dia malah diam, padahal aku udah mencoba buka topik baru. Untung dia mau nraktir aku es krim. Murahan ya? Tapi lumayan sih, habis panas banget, dibikin kesel pula.
“Nar?” sebuah suara memanggilku. Aku menoleh ke suara itu, ternyata Dimas, teman sejurusanku. Kami sedang berada di kelas, menunggu dosen statistika datang.
“Kenapa Dim?”
“Kita sekelompok loh. Kapan mulai ngebahas tugasnya?” tanya Dimas. Geez kenapa sih belakangan ini aku sering banget bengong.
“Boleh boleh, nanti sore gimana? Abis kelas statistika?” ujarku.
“Okay,” ujar Dimas.


Setelah kelas Statistika, aku dan Dimas bertemu di Taman Air, sebuah taman yang terletak di kampusku, dekat dengan gedung kuliah kami. Disebut taman air karena terdapat beberapa air mancur kecil disana. Aku memandangi refleksi diriku di air, rambutku masih rapi, aku hanya memakai kaus bergambar mickey mouse, celana jeans, serta sneakers converse. Dimas menghampiriku, Ia memakai kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu, celana jeans, dan toms classic. Preppy.
Kami duduk di salah satu kursi yang disediakan. “Tugas kita kan ke sebuah usaha terus memantau usaha mereka dari segala sisi, terus ngasih saran dan kritik buat perbaikan usaha itu. Lo ada saran nggak mau perusahaan apa?” tanya Dimas membuka percakapan.
“Hmmm gimana kalo usaha makanan aja? Kan di Bandung ada banyak tuh usaha-usaha makanan,” jawabku sambil mengecek iPhone. Kali aja ada ajakan makan dari Natya dan Kiara.
Dimas berpikir sejenak. “Bisa sih. Nanti gue coba cari dulu deh di sekitar kampus. Kali aja ada yang bisa dijadiin tempat observasi.” Aku mengangguk. “Lo abis ini mau kemana Nar?”
“Nggak kemana-mana. Paling makan bentar terus balik ke kosan,” jawabku. Nggak ada ajakan makan dari Natya ataupun Kiara, berarti aku harus makan sore ini.
“Makan bareng yuk. Sekalian nih rumah gue jauh soalnya,” ujar Dimas sambil mengemas barang-barangnya.
“Boleh boleh. Mau makan dimana? Di gerbang depan aja yuk,” ajakku.
“Oke.” Lalu kami berdua pergi ke gerbang depan.


Pilihan kami jatuh ke restoran soto di seberang kampus. Kami berbicara banyak hal, mulai dari kuliah hingga keluarga. Aku baru tahu kalau Dimas ternyata mantan ketua OSIS di SMA-nya. Aku juga tahu kalau ternyata Dimas nggak bisa nyetir mobil karena nggak dibolehin sama orang tuanya.
“Demi apa lo nggak bisa nyetir mobil?” tanyaku kaget saat Dimas bercerita.
“Iya, padahal gue mau belajar diem-diem tapi tetep aja nggak jadi terus. Akhirnya sampe sekarang gue nggak bisa nyetir deh,” jawabnya santai. Aku tertawa.
“Apa perlu gue ajarin bawa mobil?” Sumpah aku cuma bercanda dan nggak menyangka jawaban selanjutnya adalah…
“Lo serius Nar? Perlu banget!” jawab Dimas dengan mata berbinar. Padahal aku nanya seperti itu karena basa-basi dan bercanda, tapi tanggapannya serius.
“Tapi mobilnya gimana? Gue kan nggak ada mobil di Bandung,” ujarku mencoba berkelit dari tanggung jawab yang tiba-tiba kupikul.
“Kalo mobil mah gampang. Gue bisa pinjem mobil temen gue.” Sial, ternyata Dimas sudah punya jalan keluar untuk masalah mobilnya.
“Emang nggak apa-apa gitu? Hati-hati loh takutnya nanti pas lo belajar terus mobilnya lecet, kan nggak enak sama temen lo.” Iya, aku masih mencoba berkelit.
Dimas tersenyum simpul, “Santai aja. Bisa diatur kok semuanya.”
Janggal, tapi aku hanya bisa mengangguk perlahan. “Terus nanti lo balik sama siapa dong?” tanyaku.
“Gue biasa bawa motor kok,” ujar Dimas sambil menyeruput kuah soto yang masih meruap-ruap.
“Eh nggak usah Diiim. Gue mah gampang emang biasa balik sendiri.” Duh, kok jadi dobel sih nggak enaknya.
“Gapapa. Anggap aja sebagai rasa terima kasih gue karena lo udah mau ngajarin gue nyetir,” jawab Dimas.
Aku terenyak. Semoga saja tawaranku yang cuma bercanda itu tidak berakhir petaka baik buatku maupun buat Dimas.


Selesai makan, Dimas mengantarkanku pulang ke kosan, naik motor. Dan aku baru sadar, ngobrol sama Dimas bisa semenyenangkan itu. We laughed a lot. Mulai dari hal-hal nggak penting seperti spanduk yang kami lihat di pinggir jalan, sampai dosen-dosen kami yang sifatnya seringkali tidak bisa ditebak.
“Thanks for dropping me by, Dim! I owe you one,” ujarku sesampainya kami di kosanku.
“My pleasure, Nar. Gue yang harusnya makasih sama lo.”
“Hati-hati baliknya ya, Dim. Kabarin gue kalo lo udah sampe rumah.” Rumahnya Dimas jauh banget, di Buah Batu. Sementara kampus dan kosanku terletak di Bandung Utara.
“Oke,” ujar Dimas sambil memakai kembali helmnya. Setelah aku masuk ke kosan, barulah Dimas memacu motornya untuk pulang. Gentleman banget, pikirku. Beda banget sama teman-teman cowokku yang seringkali meninggalkanku bahkan sebelum aku selesai membuka pagar kosan.
30 menit kemudian, sebuah iMessage masuk. Ternyata dari Dimas.
Dimas: Nar I’m home. Makasih untuk makan sotonya.
Inara: Wah kok cepet sih? Padahal kan jam pulang kantor. Sama-sama Dim, selamat beristirahat!
Dimas: Jelas dong, gue kan pembalap. Makasih Nar, lo juga jangan lupa istirahat.
Aku tersenyum. It feels like I found someone from my past.


Semenjak membicarakan tugas dan makan malam waktu itu, aku dan Dimas jadi semakin dekat, terutama karena tugas kuliah kami. Kami sering kali berdua, menyebabkan teman-teman sekelas kami yang bermulut usil mulai berbicara.
“Duh Dimas sama Inara sekarang bareng terus yaa, ada apa nih?” ujar Vanya bercanda. Dosen kami sedang keluar kelas, jadi kondisi kelas sedikit berisik. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Dimas memandang wajah cool (atau sok cool) di depan mereka.
“Jangan-jangan Dimas sama Inara mau nyusul Iko sama Tanya nih,” sahut Gita. Iko dan Tanya adalah satu-satunya pasangan di jurusanku.
Jurusanku memang sedikit, hanya ada 50 orang dalam satu angkatan. Makanya cepat sekali bagi kami semua untuk dekat satu sama lain. Bercanda seperti itu sudah biasa di kelas, hanya saja baru kali ini aku yang menjadi korbannya. Biasanya sih aku, Natya, dan Kiara ikutan juga ngeledekin.
Ngomong-ngomong soal Natya dan Kiara, tumben banget mereka nggak ikutan berisik ngeledekin. Bukannya aku pengen, tapi aneh aja. Aku melirik ke mereka berdua, wajahnya… tidak suka? Aku nggak terlalu paham.
Karena itulah aku bertanya ke mereka saat makan siang.
“Kalian berdua kenapa sih?” tanyaku to the point.
Natya dan Kiara saling melirik. Aku memandangi mereka, menunggu jawaban. Akhirnya, Natya membuka mulut. “Honestly, gue sama Kiara nggak terlalu setuju kalo lo sama Dimas.”
Aku tertawa ngakak. Kontan orang-orang langsung memandangi kami. Natya dan Kiara mengernyit. “Kenapa sih Nar? Behave dong, lagi rame nih kantin.” Kantin fakultas kami memang ramai sekali siang ini.
“Masa kalian percaya kalo gue sama Dimas ada something? I thought you know me.”
“Yes, I know you Nar. Dan lo selalu salting tiap diledekin sama semua orang, baik yang lo suka beneran maupun yang sebenernya lo nggak suka sama sekali,” ujar Natya.
Lalu Kiara menyahut. “Dan kami khawatir, dengan adanya gossip ini dan kesaltingan lo, si Dimas jadi geer.”
“Ngaco ah kalian,” ujarku sambil menusuk siomay yang ada di depanku. “Harusnya kan kalian bersyukur kalo misalnya gue akhirnya settled ama seseorang.”
“Tapi nggak Dimas juga ah. Lo tuh walaupun rapuh gini kelihatannya, sebenernya tangguh Nar. I know you have a black belt in karate,” ujar Natya.
Rapuh? What? Enak aja. Kalaupun memang rapuh, harusnya itu nggak kelihatan sama orang lain, walaupun mereka berdua sahabatku. “Enak aja rapuh!” ujarku sewot. Natya dan Kiara terkekeh.
“Yah terlepas dari seberapa rapuhnya lo, tapi lo butuh cowok yang lebih kuat dari lo. Kan gak lucu kalo kalian diserang sama geng motor, malah lo yang ngelindungin cowok lo,” ujar Kiara. Sahabat macam apa sih yang mendoakan sahabatnya ketemu geng motor.
“Omongan lo nggak masuk akal ah,” ujarku kalem. Padahal sejujurnya aku pusing banget nanggepin mereka berdua.
Keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran mereka. Hingga akhirnya Natya berkata “Well, sebenernya gue jadi punya ide sih. Berarti kita cariin cowok buat Inara yang kuat, biar bisa ngelindungin Inara.”
Aku hanya bisa memutar bola mata dengan kesal. Topik itu lagi. Dan akhirnya setengah jam selanjutnya diisi dengan pengajuan nama-nama cowok, yang menurut Natya dan Kiara, kuat. Awalnya sih masih masuk akal, lama-lama makin aneh-aneh.
“Si Jaka aja tuh!” ujar Kiara, setelah entah berapa nama disebutkan.
“Emang Jaka kuat?” tanya Natya. Aku pun membayangkan Jaka yang badannya kurus kering, bahkan lebih pendek dariku.
“Kali aja dia sekuat Jaka Tingkir, namanya kan mirip,” ujar Kiara santai. Gila, kadang aku nggak habis pikir kenapa aku mau temenan sama manusia garing macam Kiara. Tapi untuk menghormati usaha Kiara, aku dan Natya tersenyum. “Bego lu Ra,” ujar Natya pelan. Kiara tertawa.
Kami sedang bercanda saat tiba-tiba terdengar, “Woy bocah!” Aku, Natya, dan Kiara berpandangan, lalu melihat ke asal suara. Ternyata Ergi, matanya mengarah kepadaku. Aku mengernyit. Natya dan Kiara melihat ke arahku dan Ergi bergantian dengan tatapan penuh tanya, menuntut penjelasan dariku.
Ergi mendekat ke arahku. “Sombong banget sih bocah.” Aku, yang masih clueless, hanya mengernyit ke arah Ergi.
Dan seketika aku teringat. “Enak aja bocah!” jawabku.
Ergi hanya tertawa, lalu berlalu. Giliran Natya dan Kiara yang menuntut penjelasan. “Is there something you wanna tell us, Nar?”
Akupun menceritakan tentang kejadian beberapa waktu lalu. Seketika mata mereka berbinar. “We found someone for you!” ujar Kiara heboh, lalu disambung oleh Natya, “Ahhh I’m so happy for you!” Kini gantian aku yang menunggu penjelasan mereka.
“He’s your missing puzzle, Nar! Gue tahu dia jago olahraga, pasti kuat deh. Terus lo nggak lihat tadi matanya mandangin lo berbinar gitu?” ujar Kiara penuh semangat. Please, bisa nggak sih aku ganti temen aja? Berbinar? Kayaknya mata mereka yang rusak.
“You guys nuts,” ujarku singkat, disambut tawa dari keduanya.

No comments:

Post a Comment