Wednesday, March 5, 2014

Bab 4

Ergi
Gue gila ya? Barusan gue nyapa Inara, randomly. Dan kayaknya gue nggak bisa menyembunyikan kegembiraan gue setelah lebih dari seminggu nggak ketemu sama dia. Memang sih sebenarnya ada rapat acara ulang tahun kampus, tapi gue selalu nggak bisa datang karena tugas gue lagi numpuk banget. Jadi untuk progress report divisi gue, gue cuma bisa ngirim wakil gue buat dateng ke rapat. Dan akhirnya, gue kehilangan momen-momen ketemu dan ngobrol sama Inara.
“Gi?” Edsel manggil gue. Gue menoleh. “Kenapa lo?” tanyanya. Gue menggeleng, lalu menggumam pelan, “Nope.” Edsel hanya mengangguk.
Di saat seperti ini, gue bersyukur sohib gue nggak rumpi kayak cewek. Gue ngerasa belum siap buat cerita ke Edsel tentang Inara, walaupun dia sahabat gue dari TK. Gue yakin dia kenal gue cukup lama untuk tahu kalau gue belum mau cerita soal ini. Bukan apa-apa, tapi gue masih nggak yakin sama perasaan gue. I really hope it’s just a fling. Karena masih banyak yang harus gue urusin, terutama kuliah.
“I’m sorry to interrupt your space out time. But we have something to do now. So unless you want to tell us what’s going on with you, please be cooperative about our assignment,” ujar Edsel tegas. Gue hanya mengangguk, mencoba mengusir Inara dari pikiran gue.
“Sorry. Won’t happen again,” kata gue sambil mengambil rokok di saku celana. I need some refreshment. Edsel hanya melirik sekilas, lalu kembali menekuni layar laptopnya.


Weekly Deadline
Senin – PR Termodinamika, kumpulin ke Ratih
Selasa – Gambar teknik beres
Rabu – Ketemu Rio, fiksasi acara
Kamis – Cuci motor, bawa baju ke laundry, kumpulin laporan praktikum
Jumat – Kumpul sama anak acara
Sabtu & Minggu – Bunda datang, belanja kebutuhan bulanan
Gue membaca ulang planner biru tua gue, berharap tidak ada yang tertinggal. Yep, I’m oldschool. Gue masih lebih suka menulis di planner daripada harus nulis di hp, walaupun sebenarnya jauh lebih mudah menggunakan hp.
It’s still Saturday afternoon but I should do my tasks. Tapi entah kenapa hari ini gue ngerasa males banget. Untuk mengulur waktu (yeah, I’m a procrastinator) gue membuka twitter dan melihat timeline. Sebagian besar isinya marah-marah karena Bandung macet banget hari ini, sisanya hanya update nggak penting, sampai gue menemukan update dari Inara.
@InaraR: #KTBFFH for tonight!
Is she really a soccer fans? I mean, dari gayanya sehari-hari sih, she’s not the type who like soccer. Tapi nggak ada salahnya untuk bertanya, kan? Dan tiba-tiba saja gue sudah membuka iMessage dan mengirimkannya sebuah pesan.
Ergi: #KTBFFH? Emang ngerti?
30 menit dan tetap nggak ada balasan dari Inara. Gue memutuskan untuk mengerjakan tugas gambar teknik sambil menunggu balasan dari Inara. Gue sedang asyik menggambar, one of my quirkiness – saat temen-temen gue mengeluh tentang mata kuliah ini, gue malah cinta mati. Hp gue bergetar. Gue melirik sekilas, terlalu malas untuk mengambil hp karena nggak mau diganggu, ternyata dari Inara.
Gue nggak ngerti ada dorongan apa dari diri gue, hal selanjutnya yang gue ingat adalah gue meninggalkan semua tugas gue dan mengambil hp, melupakan tugas gue yang baru setengah selesai.
Inara: Ngertilah. Kenapa emangnya?
Gue tersenyum, Gue bisa banget ngebayangin muka Inara waktu ngomong gitu. Jutek, tapi penuh rasa ingin tahu. Gue langsung membalas.
Ergi: Just asking. Anak kecil kan mainannya barbie sama lego.
Gue menunggu beberapa menit, namun Inara belum juga membalas. What’s with her? Gue pun kembali ke meja tulis yang terletak di sudut kamar gue saat iMessage Inara datang.
Inara: Enak aja. Ah gue tau, paling lo fansnya MU ya? Apa Liverpool? Apa Arsenal? Atau City?
Ergi: Gaklah, gue juga true blue. Lo nggak nobar malem ini?
Karena malas menunggu balasan dari Inara, gue kembali berkutat dengan tugas gue. Benar saja, balasan dari Inara baru datang hampir 1 jam kemudian.
Inara: Nggak, males hujan. Lagian enakan di kosan. Lo nggak nobar?
Ergi: Nggak juga, nggak ada temen. Apa mau nonton ama gue?
CRAP. GUE NGOMONG APA BARUSAN. Message sent. Gue cuma bisa berdoa semoga Inara nggak mikir yang macem-macem, apalagi ilfeel sama gue. Gue kembali mengerjakan tugas gue, tapi konsentrasi gue udah menguap entah kemana. Gue melirik hp gue berkali-kali, namun gadget berwarna hitam itu tidak juga mengeluarkan suara ataupun menampilkan pesan baru.
Inara: Hahaha mau banget nonton sama gue? Tapi hujan nih. Kalo nggak hujan boleh aja sih, gue belom pernah pergi nobar.
Dan hal selanjutnya yang gue lakukan adalah membalas pesan Inara dengan membuat janji menjemputnya, lalu segera bersiap-siap. I can feel the excitement through my veins. Gue melihat ke arah jendela kamar, hujan mereda, berubah menjadi gerimis, dan perlahan berhenti. Mungkin langit mengizinkan gue untuk bertemu Inara malam ini.


Dan sekarang gue berada di depan sebuah bangunan berwarna putih di daerah Dago, kosan Inara. Gue baru saja mengabarkan Inara kalo gue udah di depan. Nggak berapa lama, Inara keluar dari rumah itu. Ia menggunakan jersey Chelsea musim lalu yang dipadukan dengan rok balet berwarna hitam dan flat shoes berwarna biru.
“Yuk,” ajak Inara. Gue memberikan helm kepadanya. Lalu mengarahkan motor gue ke Jalan Riau, menuju salah satu café favorit gue buat nobar.
Suasana café cukup ramai malam ini. Gue melirik ke Inara sekilas, wajahnya tampak tenang. She’s one of a kind. Biasanya pacar temen-temen gue yang ikutan nobar gini langsung risih masuk ke café yang isinya mayoritas cowok ber-dresscode jersey dengan tatapan terpaku ke televisi dan asap rokok dimana-mana. Namun Inara hanya diam, bahkan memandangi keadaan café dengan wajah tertarik.
“Rame juga yaa,” gumam Inara. Gue menoleh.
“Iyalah, kan hari ini derby London,” ujar gue sambil mengambil marlboro dari saku celana gue. “Gak apa-apa kan kalo gue ngerokok?”
Inara mengangguk. “Santai aja ama gue.” Ia kembali mengamati keadaan sekitar, lalu mengambil menu yang terletak di tengah meja. Ia membolak-balikkan halaman lalu berkata, “Lo mau pesen sesuatu gak? Sekalian aja,” ujarnya.
“Nggak, udah makan tadi. Lo pesen aja kalo mau,” ujar gue. Inara mengangguk, lalu memanggil salah seorang pelayan dan memesan French fries.
Nggak lama kemudian, pertandingan dimulai. Dan gue pun terpaku memandangi layar kaca tanpa memedulikan sekitar gue.


Nobar baru selesai jam 11 malem. Gue mengantarkan Inara pulang, kami nggak banyak bicara. Tapi gue bisa lihat dari mata Inara kalau dia senang gue ajak nobar.
“Makasih banyak ya Gi udah ngajak gue nobar. Seru banget! Lain kali ajak yang lain juga biar lebih rame,” ujar Inara.
Gue tersenyum. “Sama-sama, makasih juga udah nemenin.”
“Makasih juga udah nganterin balik. Hati-hati yaa di jalan, kabarin kalo udah sampe kosan,” ujar Inara sambil membuka gembok kosannya.
“Daaah!” Gue pun memacu motor gue meninggalkan Inara.
10 menit kemudian, gue telah sampai di kosan. Gue nggak bisa berhenti tersenyum mengingat malam ini. Jujur saja, di paruh kedua pertandingan, gue udah nggak terlalu fokus memperhatikan pertandingan. Gue berkali-kali melirik ke arah Inara yang matanya tidak lepas dari layar kaca. Iya, mata coklatnya yang bulat, yang binarnya tidak pernah pudar. Inara yang terlonjak gembira bersama penonton lainnya saat melihat Hazzard melesakkan bola ke gawang lawan.
Ergi: Gue udah sampe kosan ya, Nar.
Inara: Wah cepet banget. Selamat istirahat! Btw maafin kalo lo nggak terlalu menikmati nobarnya, kayanya sepanjang babak kedua lo nggak fokus nontonnya.
Ergi: Gapapa kok Nar, gak ada apa-apa. Selamat istirahat juga, Nar.
Gila, Inara bisa baca pikiran gue ya? Atau gue ternyata se-obvious itu? Gue hanya berharap Inara tidak berpikiran apa-apa untuk saat ini, karena gue sendiri pun belum yakin akan perasaan gue ke Inara saat ini.


Sudah 3 hari berlalu sejak gue nonton bola bareng Inara. Intensitas komunikasi kami pun mulai meningkat beberapa hari terakhir ini, walaupun Inara lebih sering membuka topik baru dan gue hanya menjawab seadanya. Jujur aja, gue masih nggak ngerti gimana caranya membuka obrolan dengan Inara. Gue nggak mau terlalu kelihatan excited saat ngobrol sama dia, gengsi. Lagipula gue masih nggak tahu apa yang gue rasakan ke Inara saat ini. Yang gue tahu, gue nyaman ngobrol dan pergi sama dia. Dan gue ingin mengenalnya lebih jauh.
Gue sedang mengerjakan tugas di Bengkel Mesin bersama Edsel saat tiba-tiba sebuah suara memecah konsentrasi gue.
“Psst psst.”
Gue menoleh. Dan gue melihat Inara melewati bengkel mesin. Inara, dengan kaus putih dan blazer donker, rok selutut yang berwarna senada dengan blazernya, serta toms crochet putih. Manis. Namun Ia tidak sendiri, Ia bersama seorang cowok dengan kemeja garis-garis berwarna biru, jeans nudie, dan corduroy slip on shoes. Inara melambaikan tangannya sambil tersenyum, senyum terindah yang pernah gue lihat.
Gue bahkan hanya dapat membalas dengan anggukan. Otak gue membeku.
Inara berlalu, dan gue dapat mendengar gelak tawa Inara walaupun Ia telah berjarak lebih dari 20 meter. Ia terlihat… bahagia?
Dan entah mengapa, hati gue terasa berbeda. Ada rasa panas yang menganggu, yang membuat gue nggak bisa berhenti memandangi Inara dari belakang hingga Ia menghilang dibalik salah satu gedung kuliah. Rasa itu terasa sangat mengganggu, hingga konsentrasi gue menguap entah kemana. Bahkan 2 batang rokok nggak bisa mengendalikan pikiran gue.
Apa nobar kemarin nggak ada artinya buat Inara? Apa Inara nggak sadar kalau sejak 3 hari yang lalu, dirinya berada di semua sudut pikiran gue? Apa semua obrolan kami di iMessage nggak ada artinya buat Inara?
Gue melirik ke hp gue, terdapat satu pesan dari Inara. Pesan singkat, namun entah mengapa gue kehilangan semua kepercayaan diri gue untuk membalas pesan Inara.
Inara: Sombong lo barusan gue sapa jawabnya gitu doang

Gue rasa saat ini adalah saat yang tepat untuk mulai cerita ke Edsel.

No comments:

Post a Comment